Melahirkan Anak Pertama di Masa Pandemi Covid-19
Tulisan ini bukanlah
artikel yang penuh ilmu parenting. Bukan juga artikel yang didasari dari ilmu
kedokteran secara mutlak. Namun, tulisan ini adalah kisah saya. Kisah perjuangan
saat saya melahirkan anak pertama lima
bulan yang lalu. Mungkin akan berguna untuk calon ibu yang sedang bersuka cita.
Juga bisa menjadi bacaan bagi calon ayah yang ingin lebih tanggap dan pengertian.
Bukan apa-apa, saya hanya ingin berbagi cerita agar proses melahirkan anak
pertama di masa pandemi yang penuh perjuangan ini dapat tergambar meskipun tak
sepenuhnya terlihat.
Awal Mula Ketuban Rembes
Jumat,
tanggal 27 Maret 2020, menjelang Subuh. Saya merasa tak nyaman dan harus ke
kamar mandi untuk buang air kecil. Awalnya, saya tidak curiga dengan apapun.
Akan tetapi, saya mulai merasa aneh karena muncul cairan yang tidak bisa ditahan
saat dia ke luar dari tubuh. Baunya tidak menandakan sedikit pun jika itu
adalah urin. Baunya berbeda. Juga wujudnya yang seakan bercampur dengan lendir membuat
saya semakin yakin jika itu bukanlah urin. Saat itu saya mulai gugup. Apakah
ini air ketuban yang rembes?
Saya
urungkan untuk salat Subuh. Cairan itu terus menerus ke luar hingga saya takut
jika anak saya akan mendapat masalah di dalam perut. Usia kandungan berdasarkan
usg pertama adalah 38 minggu. Sementara usg terakhir mengindikasikan kehamilan
masih 37 minggu. Entah mana yang benar. Namun, apapun itu saya terus berdoa
untuk keselamatan saya dan buah hati.
Setelah
yakin jika cairan tersebut adalah ketuban, buru-buru saya bangunkan suami. Dia
masih setengah mengantuk. Dia belum bisa merespons ucapan saya dengan baik. Menunggu
beberapa saat, dia mulai mengerti apa yang saya maksud. Hari itu sebenarnya
saya dan suami harus ke pasar untuk mencari beberapa barang untuk melengkapi
acara panen padi, tetapi akhirnya suami yang ke pasar sendirian sementara saya
mencoba menenangkan diri. Saya membatin, akankah saya melahirkan anak pertama
di masa pandemi, saat Covid-19 mulai mengancam banyak nyawa di mana-mana?
Aplikasi Penghitung Kontraksi
Untuk
mengatasi perasaan khawatir yang berlebihan, saya mengunduh aplikasi penghitung
kontraksi. Setiap kontraksi datang, tombol akan saya pencet dan waktu pun
dihitung. Saat kontraksi reda, tombol kembali saya pencet untuk menghentikan
hitungan. Ada begitu banyak aplikasi yang dapat membantu calon ibu untuk
mengetahui kontraksi yang dirasakan sebelum melahirkan. Aplikasi tersebut bisa dengan mudah ditemukan
di Google Play Store. Jujur saja, sebelumnya saya belum pernah mengunduh
aplikasi seperti itu karena saya kira hari H untuk saya dan si bayi bukanlah
hari ini. Akan tetapi, Allah sudah menggariskan dan saya akan sangat berusaha
untuk semuanya. Untuk diri saya, si bayi, suami, dan keluarga yang turut
menantikan buah hatiku tercinta.
Beberapa
saat kontaksi terus terasa. Namun, frekuensi yang timbul belum membuat saya
merasa kesakitan. Setelahnya, saya menghibur diri dengan mandi dan beberes
rumah sejenak. Sayangnya, semua itu tidak begitu melegakan. Saya masih tetap memikirkan
bayi dalam kandungan. Ketuban terus turun dan sepuluh menit sekali saya
mengganti pembalut karena ketuban tak kunjung berhenti.
Menuju Rumah Sakit
Usai
suami kembali dari pasar, kami bergegas ke rumah sakit RSUD BDH (Bakti Dharma
Husada) Surabaya. Sebelumnya saya dan suami meminta doa dari ibu mertua. Beliau
harus memanen padi di sawah, sehingga tak turut untuk memeriksa keadaanku.
Namun, jika sewaktu-waktu saya melahirkan, ibu mertua meminta saya untuk
langsung dirawat dan suamiku menghubungi orang rumah untuk memberi kabar.
Perjalanan
menuju rumah sakit menaiki motor sekitar lma belas menit. Ketuban masih terasa
rembes beberapa kali. Ada sedikit rasa malu jika pakaian yang kupakai akan
basah karena cairan ini. Ditambah, saya terus gelisah tentang bayi yang ada di
dalam perutku. Sampai di rumah sakit, kami berusaha mencari informasi. Bodohnya,
kami tidak langsung ke IGD, tetapi malah ke poli KIA. Setelah membuat kartu
pendafataran, saya menunggu untuk dipanggil dalam antrian. Saat dipanggil, saya
berusaha tenang. Di sana saya diperiksa bukaan oleh seorang bidan. Tiba-tiba
cairan ketuban ke luar sangat banyak. Sesaat saya lihat bidan terkejut, tetapi
beliau kembali tenang dan menyarankan saya untuk menunggu dokter kandungan
untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sebelumnya, bidan sempat memarahi saya karena
datang ke rumah sakit rujukan Covid-19. Saya pribadi tidak memiliki pilihan
karena sebelumnya mertua telah merekomendasikan rumah sakit tersebut.
Anjuran
awal ternyata gagal. Kemungkinan bidan juga was-was dengan keadaan saya
sehingga beliau menelepon dokter untuk memastikan keadaan. Melalui telepon,
dokter langsung menyuruh agar saya dibawa ke IGD. Saat itu, untuk pertama
kalinya dalam hidup saya menaiki kursi roda, seakan saya adalah seseorang yang
sedang tak berdaya. Di IGD saya mulai diperiksa bukaan dan diambil sampel
darah. Setelah semua selesai, saya diarahkan ke ruang bersalin yang ada di
lantai 2. Saat itu saya berbaring di kasur, dua orang bidan mendampingi saya
menaiki lift menuju ruang bersalin.
Suami Sebagai Pendukung Nomor Satu
Percaya
atau tidak. Selama proses awal hingga akhir, suami terus mendampingi saya. Dia
yang mendaftarkan saya sebagai pasien, dia yang mengambilkan segala keperluan
saya selama saya berbaring, dia juga yang menunggui dengan sabar meskipun dalam
hati tidak kalah cemasnya.
Di
ruang bersalin, bidan memberi anjuran untuk menunggu hingga jam empat sore,
jika belum ada reaksi dari si bayi untuk lahir normal, barulah akan dipikirkan
tindakan selanjutnya. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 11.00. masih ada
waktu cukup banyak bagiku dan si kecil untuk berusaha. Dalam hati saya ingin
melahirkan dengan lancar. Saya berdoa agar si bayi baik-baik saja.
Setiap
jam bidan datang untuk memeriksa tekanan darah, detak jantung bayi, dan pembukaan
saya. Semuanya baik, tetapi ada hal yang membuat saya begitu cemas dan
frustasi. Pembukaan saya begitu lambat saat itu. Jam telah menunjuk angka 4 dan
pembukaan yang saya dapat hanyalah dua.
Saya
semakin putus asa, tetapi suami terus menyemangati dan berharap segalanya
lancar. Setelah bidan memeriksa semuanya dan dirasa saya serta bayi masih bisa
menunggu sedikit lagi, bidan mulai menelepon dokter kandungan yang memiliki jadwal
di hari itu. Ternyata dokter menyarankan saya untuk menunggu lagi hingga pukul
23.00 WIB. jika tidak ada tanda-tanda, tindakan operasi adalah jalan terbaik.
Hal Paling Utama Adalah Keselamatan
Fase
kedua dalam menunggu saya menghela napas berat. Rasa khawatir yang saya tampung
semakin meluber ke mana-mana. Hingga saya pasrah, apapun yang akan terjadi,
saya berserah pada Dia yang telah memberi kehidupan. Di balik rasa gundah, suami
sesekali ke luar untuk membeli makanan, minuman, dan perlengkapan yang diminta
oleh bidan seperti gurita orang dewasa serta handuk kecil. Dia juga sesekali
izin untuk salat dan meninggalkanku sendirian di ruang bersalin. Keistimewaan
yang menyedihkan. Melahirkan anak pertama di tmasa pandemi Covid-19. Hanya
suami yang menunggui, tidak boleh ada orang lain karena kuota penunggu hanya
diberikan pada satu orang saja.
Sesekali
kulihat perlengkapan yang dminta oleh bidan. Firasat saya megatakan, benda
tersebut akan digunakan jika saya operasi Caesar. Mungkin ada rasa kecewa
karena beban dari operasi itu sendiri cukup besar. Namun, di posisi ini saya
hanya berharap bayi saya sehat. Jadi, tindakan apapun tidak masalah.
Ibu Mertua yang Penuh Perhatian
Ibu
mertua sempat datang untuk melihat keadaan saya sekitar jam lima sore. Raut
wajah dan gelagat saya yang tak heboh membuat ibu mertua bingung. Dulu, beliau
merasakan sakit yang luar biasa selama sehari penuh, sementara saya terlihat
hanya meringis-meringis tipis. Padahal, saat pembukaan semakin naik, punggung
ini terasa ditusuk-tusuk, hanya saja saya dapat menahannya karena dalam hati
saya senang sang buah hati telah mempercepat geliatnya.
Ibu
mertua hanya menunggui sekitar 10 menit di ruang bersalin. Lepas itu beliau ke
luar ruang dan menunggu di koridor pintu masuk. Beliau tidak ingin buru-buru
pulang. Beliau ingin memastikan apakah saya harus operasi caesar nantinya. Jika
pun iya, ibu merua tidak mempermasalahkan karena beliau juga telah berserah
pada Yang Kuasa. Saya sempat mendengar, ibu mertua berkata dengan tatapan sedih
karena saya melahirkan di masa pandemi. Lagi, orang tua saya tidak ada di
sampingku untuk menyemangati. Ibu mertua terus berdoa semoga tidak ada hal
buruk terjadi. Hingga si buah hati hadir, dia terus menunggu meskipun harus di
koridor dan pulang dengan perasaan lega saat mendengar kabar jika seorang bayi
laki-laki telah lahir menjelang tengah malam.
Proses Melahirkan Anak Pertama
Sekitar
jam setengah sebelas, saya tidak bisa menahan kontraksi. Semakin malam rasa
sakit itu semakin menjadi. Saya memegangi tangan suami erat dan mencoba menahan
rasa sakit yang terus menerus hadir. Saat itu bidan tak kunjung datang untuk
pemeriksaan rutin. Saking tak kuatnya, saya pun meminta suami untuk menemui
bidan. Untungnya, bidan segera datang dan memeriksa bukaanku. Saya tidak tahu
apakah sudah lengkap atau hampir mendekati lengkap, tapi bidan telah memanggil
beberapa kawan untuk mmbantu persalinanku. Ada tiga bidan saat itu. Dua
mendekat di sisi kanan dan kiri, sementara satu lagi ada di depan dengan
memegang berkas-berkas yang entah berisi apa. Saat proses melahirkan, saya
diajari posisi persalinan yang baik dan beberapa hal yang dilarang. Saat itu
saya tidak bisa menangkap penjelasan 100%. Rasanya konsentrasi yang saya miliki
sudah buyar ke mana-mana. Namun, kulihat suami tetap di sis dan memegang pundak
saya lembut. Saya berusaha mengumpulkan segenap kekuatan untuk proses yang
telah dinanti.
Jika
kalian sering melihat persalinan di film atau sinetron yang tinggal berbaring,
berteriak, dan membuka selangkangan, itu proses persalinan yang salah besar.
Posisi yang dianjurkan pada saya saat itu adalah mengarahkan tangan pada
lipatan lutut, menatap ke arah perut, dan dilarang mengangkat bokong. Bisa juga
dilakukan secara jongkok maupun miring dengan kaki yang disesuaikan. Pada
posisi miring kaki ditekuk dan menyilang pada kaki lainnya. Selain itu, kita
harus mengejan kuat saat kontraksi datang.
Saat
itu saya berusaha mengejan hingga beberapa kali dengan gaya yang berbeda. Mulai
dari telentang, miring, hingga jongkok. Bidan berusaha mengingatkan cara mengejan
yang mirip dengan saat kita buang air besar. Bidan lain mewanti-wanti agar saya
tidak menyia-nyiakan tenaga. Terlebih selama kontraksi saya tidak enak makan.
sehingga bidan khawatr tenaga saya akan terkuras sebelum bayi ke luar.
Setelah
megejan untuk kesekian kalinya, si kecil mulai menampakkan kepala. Sayangnya
napasku kurang kuat hingga dia kembali masuk. Saya pernah membaca, jika dalam
proses melahirkan, bayi juga turut berjuang. Jika tidak segera dilahirkan, bayi
pun akan merasakan sakit karena tekanan dari proses mengejan yang
berulang-ulang. Saya merasa begitu kasihan, tetapi mengumpulkan tenaga juga
tidak semudah yang dikira. Suami yang berada di sisi terus memberi semangat
hingga akhirnya saya bertekad dengan mngambil napas panjang dan mengejan sekuat-kuatnya.
Dalam tekanan ketiga, kepala bayi telah ke luar. Ada rasa perih karena robekan,
tetapi saya tidak ada waktu untuk merasainya teralu jauh. Selanjutnya,
kuserahkan semuanya pada bidan. Mereka mulai sibuk menarik bayi secara
perlahan, mengeluarkan placenta, dan memberikan pujian agar saya makin bahagia
dan tetap bersemangat.
Suami
tersenyum penuh syukur. Si kecil segera diangkat oleh bidan untuk dibersihkan
sekilas dan dilakukan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Berkali-kali saya mengucap
syukur dan terima kasih pada Tuhan. Anakku telah lahir dan segalanya baik-baik
saja.
Saat
itu bidan meminta suami untuk menuju ruang administrasi. Entah mengurus apa.
Saya pun ditinggal dengan si kecil yang menggeliat dan menjilat-jilat tanpa
arah. Saya menangis tapi juga bahagia. Segalanya campur aduk. Lalu, rasa sakit
datang lagi saat perineum harus dijahit. Saya menahan sekuat tenaga rasa sakit
dari jarum. Bidan bilang saya sudah dibius, tetapi rasanya benar-benar masih terasa.
Saya menghibur diri dengan mendekap si kecil dan mengamati matanya yang indah.
Dia adalah anak pertama saya yang dlahirkan di masa pandemi.
Suami
telah kembali dan bayiku telah dibungkus kain hangat. Suami dengan semangat mengazani
si kecil, kemudian dia mengembalikan bayi mungkil kami di inkubator.
Menghubungi Keluarga di Tulungagung
Tiga
puluh menit usai proses persalinan, saya duduk di tepi ranjang untuk mencoba
menggerakkan kaki. Bidan bilang, setelah tiga jam saya boleh mencoba berjalan
ke kamar mandi asal tidak merasa pusing. Saat itu saya sudah merasa baikan.
Suami ke luar ruang untuk mengabari ibu mertua yang masih menunggu. Saat itulah
saya memotret si kecil dan saya kirimkan pada kakak d Tulungagung. Saya tebak,
dia masih terjaga di tengah malam, karena sebentar lagi emak harus ke pasar dan
menyiapkan barang dagangan. Kakak sangat terkejut sekaligus bahagia atas
kelahiran anak pertama. Awalnya saya ingin memberi kabar secara langsung pada
emak, tetapi saya yakin beliau masih sibuk sehingga saya urungkan. Beberapa
hari setelah itu, emak bilang jika beliau seketika lemas dan menangis melihat
foto anak pertama saya. Emak merasa sangat lega dengan semua proses kelahiran
yang lancar dan baik-baik saja. Namun, sangat disayangkan karena Covid-19 saya
tidak bisa tatap muka dengan keluarga di Tulungagung hingga berbulan-bulan.
Mengapa
saya tidak meminta doa sebelum proses persalinan seperti saat saya dengan ibu
mertua? Emak adalah orang yang mudah gugup dan gelisah. Saya takut di tempat
yang berjauhan dia akan semakin khawatir. Di sisi lain, saya yakin emak telah
mendoakan Hari H saya setiap hari.
Kini, segalanya
baik-baik saja. Saya melahirkan bayi mungil berjenis kelamin laki-laki dengan
berat 3 kg dan panjang 49 cm yang sehat serta tak kurang suatu apapun. Meskipun
baru beberapa jam ia lahir di dunia, tetapi tatapannya begitu teduh dan membuat
hati ini semakin hangat. Dia adalah cucu laki-laki pertama di keluarga saya dan
keluarga suami. Di keesokan harinya, atas keputusan bersama suami, anak
laki-laki itu kami beri nama Zainudin Moenbi.
Posting Komentar untuk "Melahirkan Anak Pertama di Masa Pandemi Covid-19"