Cerpen Romantis - Prasangka Jaka
Baru saja kutempatkan
jagang sepeda motor, aku sudah merasa kedatanganku adalah hal yang salah. Bukan
karena tidak ada orang di rumah, tapi karena telalu banyak orang yang
berseliweran hingga membuatku canggung.
Sebelum ke sini, aku
sudah meminta informasi pada kakek. Beliau bilang tidak ada yang istimewa di
hari ini. Akan tetapi, ucapan kakek benar-benar tidak terbukti. Aku merasa
kecewa dan perlu berputar balik.
“Permisi, Pak. Bisa
saya bertemu dengan Pak Angon?”
“Pak Angon?” tanya si
penjawab balik.
“Iya, Bapak Angon, ketua
dari Komunitas Kandung Selamanya,” jelasku penuh sopan. Sang bapak di hadapanku
belum berucap, hingga seorang yang mengusung tirai hitam melewati kami dan menyahut.
“Tidak perlu
basa-basi pada bapak ini, Mas. Dia sendiri yang bernama Angon.” Aku terbengong
sebentar. Kemudian menahan senyum sekaligus sebal. Sementara Pak Angon tertawa
dan menepuk bahu rekannya secara asal.
“Iya, Mas. Saya
sendiri Pak Angon. Ada yang bisa dibantu? Eh, tapi kita masuk dulu. Masa
ngobrol sambil berdiri seperti ini.”
Sang tuan rumah menyilakan.
Aku pun dengan antusias mengikuti. Tinggal beberapa tahap lagi dataku akan
terkumpul. Aku bisa kembali ke Surabaya dan menyelesaikan penelitianku.
“Nah, sampai di mana
tadi?”
“Begini, Pak. Saya
datang ke mari untuk meminta bantuan. Saat ini saya sedang mengerjakan skripsi
tentang struktur legenda dan nilai sosial budaya dari Legenda Jaka Kandung yang
ada di Desa Tanen ini. Saya dengar Bapak merupakan tokoh ahli yang bisa
ditanyai perihal tersebut.”
“Jadi, Mas mau
wawancara?”
“Iya, Pak. Sekalian
saya ingin mendokumentasikan petilasan dari legenda tersebut.”
“Hem …. Saya tahu maksud kedatangan Mas ke mari. Tapi, sangat
disayangkan. Saya tidak bisa membantu hari ini, karena ada Festival Kandung di
jantung desa mulai hari ini hingga dua hari ke depan. Saya harus di lokasi
untuk mengawasi jalannya acara sekaligus menemani pejabat daerah yang singgah.
Ini saja saya pulang ke rumah untuk mengambil beberapa tirai stan. Seandainya
tidak, kemungkinan kita juga tidak bertemu.”
Aku termenung. Tidak
mungkin aku menginap beberapa hari lagi di Tulungagung. Aku harus menangani
banyak hal dan mengejar tanggal wisuda yang terus mengancam. Aku sudah mendapat
separuh data dari Kakek dan petugas administrasi. Aku tidak bisa menunda-nunda
rencana yang sudah kususun.
“Ngomong-ngomong,
siapa namamu, Mas?”
“O iya, maaf, Pak.
Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Reza. Saya tinggal dan kuliah di
Surabaya. Karena saya merasa Legenda Jaka Kandung masih minim penelitian resmi,
saya ingin melakukannya dan memperkaya arsip kebudayaan nusantara.”
“Wah, bagus itu. bisa
juga diteruskan dalam bentuk buku. Bulan lalu, saya mampir ke perpustakaan
nasional dan hanya menemukan dua cerita dari Tulungagung. Legenda Kiai Upas dan
Telaga Buret. Lainnya nihil. Padahal Tulungagung ini begitu kaya akan sejarah
dan budaya. Sayang sekali tidak ada yang minat untuk menuliskannya. Tapi, untuk
hari ini saya benar-benar tidak bisa membantu, Mas. Kalau minggu depan gimana?”
“Bagaimana ya, Pak.
Saya tidak memiliki banyak waktu untuk menginap di Tulungagung.” Sebelum aku
memohon pada Pak Argon lebih banyak, seorang gadis menghampiri kami. Gadis itu
memakai kaos biru lengan panjang bertuliskan ‘Kula Tresna Indonesia’ di bagian depan. Meskipun sedikit tertutup
kerudung, aku masih bisa melihat jelas gores tulisan itu.
“Pak, sudah ditunggu
Pak Bejan. Katanya suruh cepat,” ucap gadis itu seraya mencium punggung tangan
bapaknya.
“Kamu baru pulang, Nduk? Sudah selesai persiapannya?”
“Sudah, Pak. Balik
lagi ke sana malam. Buat bantu ibu-ibu sekalian nonton pentas.”
“Nah, kebetulan kalau
gitu. Kamu mau bantu Mas ini? Dia mau ambil data penelitian. Kamu cerita saja
tentang legenda di desa kita dan antar dia ke tempat-tempat petilasan. Gimana?”
Sejenak aku memandang
raut wajah gadis itu. Ada sedikit ruam protes di sana. Namun, gadis itu
mengangguk dan tersenyum pada sang bapak.
“Ya sudah, Mas. Kamu
ambil data sama anak saya saja ya? Insyaallah informasinya akurat. Dia itu
sebelas dua belas dengan saya.”
“Baik, Pak. Terima
kasih atas bantuannya.”
Pak Angon bangkit
dari sofa dan menebah kaosnya beberapa kali. Baru setelah itu dia melangkah pergi
dan meninggalkanku berdua dengan putrinya.
“Mas, saya cuci muka
sebentar ya.”
“Iya.
Saya tunggu di teras saja, Mbak.” Gadis itu mengangguk dan bergegas masuk ke
rumah lebih jauh. Meskipun aku hanya mendapatkan data dari anak Pak Angon, aku
tidak mempermasalahkan itu. Aku sudah bertekad untuk menyelesaikan data legenda
dan dokumentasi hari ini, bagaimanapun caranya.
**
Lokasi Alam Kandung
tidak begitu jauh dari rumah Pak Angon. Hanya saja jalan yang menanjak membuat
motorku terdengar mengerang. Aku sendiri tidak terkejut, karena motorku
bukanlah motor besar yang bisa membuat suara mulus dan memikat. Untungnya,
gadis yang kugandeng tidak menyiratkan raut wajah sebal. Dia malah mengamati
pemandangan sekitar seakan dia juga tak pernah mampir ke tempat ini. Semakin
kupandang, dia mengingatkanku pada seseorang. Sebenarnya ada sebuah rasa
penasaran yang mengungkungku pada gadis di belakang. Namun, aku tidak yakin
untuk menanyakannya sekarang.
“Parkir sana saja,
Mas,” ucap gadis itu tiba-tiba.
“Masuk tempat
wisata?”
“Iya. Saya akan
mengurus jalan masuk. Setelah dari sini kita bisa langsung ke Sumber.”
Si gadis turun dari
motor lebih awal. Dia berbincang sejenak pada penjaga pintu dan kembali lagi
padaku. Dia terlihat sangat ramah pada orang-orang. Tidak ada canggung. Mungkin
itu adalah karakter bawaan dari ayahnya. Auranya dapat merisak perasaan resah
dan tegang.
“Mas, ayo!”
“Iya.” Aku dan si
gadis masuk ke tempat wisata Alam Kandung. Tempat tersebut tidak begitu ramai,
tetapi masih terlihat beberapa mobil dan motor yang terparkir rapi.
“Rara! Enggak mampir
dulu? Ada pisang goreng sama ubi kesukaanmu,” teriak seorang nenek dari
kejauhan.
“Nanti saja, Mbok. Saya antar teman dulu ke air
terjun,” teriak si gadis dan sang penawar mengangguk.
Di sebuah jalan
setapak, aku mengingat kembali kenangan lima belas tahun lalu. Terakhir aku
datang ke sini, tempat ini begitu rimbun, tanpa penghuni.
“Nah, untuk
mempersingkat waktu, Mas ambil gambar saja di air terjun. Nanti akan saya
jelaskan lebih detail tentang legenda dan tempat ini sambil makan gorengan di
warung itu. Lumayan kan, bisa sambil istirahat.”
“Sebenarnya saya
sudah cukup mengenal tempat ini, Mbak. Dulu, kakek saya tinggal di desa ini.
Saya berniat mengambil data demi penambahan dan formalitas saja. Ngomong-ngomong,
kita belum kenalan, Mbak. Namanya siapa?”
“O iya, saya Rara.
Mas. Saya masih kuliah semester dua. Jadi panggil nama saja. Kalau Mas?”
“Saya Reza. Sekarang
sedang berjuang untuk lulus,” jawabku sekenanya dan Rara tertawa.
“Kakek Mas Reza asli
sini? Namanya siapa? Siapa tahu saya pernah dengar.”
“Nama kakek saya ….” Belum
lengkap aku berucap. Salah satu penjaga parkir mendekat dan meminta Rara untuk
berbincang sejenak. Tidak ingin menguping, aku melangkah untuk memberi jarak
sekaligus mengambil gambar di tempat lain.
Kameraku telah siaga
sedari pagi. Kupersiapkan untuk mendapatkan gambar terbaik dari tempat ini. Aku
mengambil banyak sudut terutama di air terjun utama. Selebihnya, aku ambil
pemandangan aliran landai dan semak-semak. Aku berharap banyak pada gantangan
dan Sumber yang terletak di bukit bagian atas. Semoga saja bunga tabebuia
sedang mekar dan aku bisa mendapatkan gambar yang kuinginkan. Bukan hanya
sebagai dokumentasi penelitian, tapi juga untuk memupuk kenangan yang telah
layu dan kusam.
“Maaf, Mas. Tadi ada
keperluan sebentar sama Kang Wisnu. Sepertinya setelah ini saya harus kembali
ke Festival Kandung. Istrinya lagi hamil. Kasihan kalau harus bantu-bantu di
stan.”
“Iya, lebih baik
secepatnya kita selesaikan.”
Mendapat kode keras,
aku meminta Rara untuk langsung mengantar ke Sumber. Meski sedikit kecewa
karena tidak mendapat pisang goreng, gadis manis itu tetap bersemangat memanduku.
Dia tidak berhenti menjelaskan tentang ini dan itu. Untung saja alat perekamku
telah menyala dan bisa kusesuaikan dengan kebutuhanku nantinya.
“Alam Kandung ini
terkenal dengan adanya seorang tokoh yang bernama Jaka Kandung, Mas. Sebenarnya
ini bukan nama asli, tetapi karena beliau tinggal Alam Kandung, maka beliau disebut
seperti itu. Beliau adalah anak Adipati Arya Blitar pertama yang membabat
wilayah Blitar atas perintah Kerajaan Majapahit. Adipati itu bernama
Nilosuwarno. Sementara ibu dari Jaka Kandung bernama Rayung Wulan. Ada juga
seorang patih bernama Patih Sengguruh. Nah, asal usul mengapa Jaka Kandung
tinggal di sini, karena ada perselisihan antara adipati dan patih hingga menewaskan
sang adipati. Saat sang ibu dikurung oleh patih. Jaka Kandung murka dan
membunuh Sengguruh. Setelah itu, saat posisi adipati telah kosong, Jaka Kandung
tidak ingin menjabat seperti mendiang ayahnya. Padahal Jaka Kandung adalah
keturunan bangsawan. Dia lebih memilih menjadi petani dan tinggal di sini
bersama rakyat jelata.”
“Legenda Jaka Kandung
ini istimewa ya, Ra. Dia adalah legenda wilayah Blitar pada zamannya. Tapi,
sekarang dia masuk wilayah tetangga dan menjadi harta dari Tulungagung.”
“Benar, Mas. tapi,
bagaimanapun juga Jaka Kandung tetap bangsawan Blitar lo. Perkututnya saja
sering bersenandung di alun-alun kota Blitar pas hari-hari tertentu.”
“Tapi itu masih sebuah
misteri kan?”
“Jangankan
perkututnya, Mas. Jaka Kandung sendiri adalah sebuah misteri. Dia kan enggak
mati. Tapi moksa.”
“Orang zaman dahulu
memang aneh, Ra. Terlalu banyak misteri dan jauh dari mati. Jangan-jangan, Jaka
Kandung saat ini sedang membuntuti kita.”
“Ih, Mas Reza jangan
bikin parno. Emang Mas mau sekalian wawancara Jaka Kandung?”
Bincang ini terasa
halus. Ringan dan tidak membikin tersedak. Tanpa kusadari, pohon besar yang
menaungi Sumber telah terlihat. Aku pun mengarahkan motor di sisi pohon dan
mengucap salam dalam hati. berbeda denganku, Rara lebih khusyuk dalam menunduk.
“Nah, sudah sampai.
Monggo kalau mau foto-foto.”
Sudah kuduga, aku
mendapatkan momen yang bagus. Air begitu jernih dan menggenang di dalam Sumber.
Tidak begitu meluap, tapi terlihat begitu menyegarkan. Bunga tabebuia turut
menghiasi. Belum mekar sempurna, tetapi sudah membuat suasana rimbun dan merona.
Di antara semua yang ada, hanya pohon ini yang utuh sejak lima belas tahun
lalu.
“Kamu sering ke sini,
Ra?”
“Enggak juga, Mas. Cuma
saat kegiatan bersih Sumber. Anggota komunitas akan membersihkan tempat ini
sebulan sekali.”
“Aku agak lupa, tapi tempat
petilasan burung perkutut di sebelah mana ya?”
“O itu, Mas. sekarang
tinggal tiang seukuran 30 cm. Warga merobohkannya sepuluh tahun lalu karena
masyarakat luar kota ke mari untuk mencari pesugihan. Ngomong-ngomong,
bagaimana Mas tahu tentang petilasan itu? Padahal sudah hilang sejak lama.”
“Ah, saat kecil saya
sering main ke sini sama teman. Ya petak umpet atau sekadar cari jagung dan ubi
buat dibakar. Dulu masih ada tiang yang tinggi. Sekarang tinggal segini ya?”
Aku memutar badan
untuk mengambil gambar bekas tiang. Andai kupandang wajah gadis manis di belakangku,
tentu aku akan mendapatkan jawaban atas gundahku hari ini. Namun, aku yang
payah tidak mendapatkan jawaban apapun dan malah asyik memotret ke sana ke
mari. Pada akhirnya, aku mendapati diriku memotret Rara yang sedang menikmati
angin dan beberapa kelopak tabebuia.
Suasana macam apa
ini? Aku merasa seperti seorang pemeran utama di dorama Jepang. Mengamati
seorang perempuan dan berharap dia adalah seseorang yang istimewa di masa silam.
“Mas, sudah selesai?”
tanya Rara seraya menyulam senyum. Syukurlah, dia tidak keberatan dengan
tindakanku yang mengabadikan dirinya di tengah-tengah bunga.
“Iya. Sudah.” Ucapanku terkesan canggung. Sementara
senyumnya semakin menjadi dan dia mendekat. “Kalau gitu kita pulang sekarang.”
“Iya. Terima kasih
untuk informasi dan waktunya, Ra. Kamu mau saya antar ke lokasi Festival
Kandung?”
“Tidak perlu, Mas.
antar saya ke rumah saja. Saya perlu mandi dan beberes sebentar.”
“Ya sudah kalau
begitu. Kalau boleh tahu, di Festival Kandung ada apa saja, Ra?” tanyaku seraya
men-start-er motor.
”Banyak hal menarik,
Mas. Bergantung minat. Ada stan makanan, hobi, dan merchandise khas Kandung berupa gantungan kunci, pin, kaos, dan
wayang. Kalau saya pribadi lebih suka melihat pentas drama Jaka Kandung. Pentas
itu dipersiapkan tiga bulan sebelum festival dan para pemain dipilih dari siswa
SMA sederajat se-Rejotangan.”
“Lakon berganti tiap
malamnya?”
“Iya, Mas. Dua tahun
lalu, saya juga ikut berperan. Jadi Rayung Wulan, ibu Jaka Kandung.”
Sesaat
pikiranku terhenti pada ucapan terakhir Rara. Aku sangat ingin menanggapi
sekaligus menanyakan suatu hal. Namun, suaraku tenggelam. Aku tidak bisa
membuka mulut hingga gadis itu tiba di rumah.
Rara
turun dari motor dan melambaikan tangan sejenak. Aku tidak berniat pergi
secepat itu. Tapi, lambaian tangan sang gadis membuatku undur diri. Aku
membelokkan motor dan menyusuri jalan perbatasan yang dipenuhi padi di sisi kanan
dan kiri. Aku ragu. Aku tidak bisa kembali ke Surabaya dengan keadaan begini.
**
Sebelum pulang ke
Surabaya, aku ingin memindahkan tangkapan kamera ke dalam laptop. Meskipun aku
sadar, niatku yang sebenarnya adalah untuk melihat hasil jepretanku pada anak
gadis Pak Angon. Dia sangat mirip dengan Rayung, kekasih masa kecilku. Aku
tidak tahu mengapa Rara selisih beberapa tahun denganku. Jika dia adalah
Rayung, seharusnya kami sepantaran.
Lima belas tahun
lalu, aku berpisah dengan Rayung saat bermain di Sumber. Saat petak umpet, dia
kutinggal sendiri karena ayah bilang kondisi kakek memburuk dan harus segera
dirujuk ke rumah sakit. Setelah itu, aku langsung tinggal di Surabaya bersama
orang tuaku. Sementara rumah dan tanah kakek di desa Tanen dijual. Kakek turut
tinggal di Surabaya dengan tempat kontrol yang lebih dekat. Sejak saat itu, aku
tidak pernah menginjakkan kaki di bumi Tulungagung.
Hatiku
gaduh. Aku butuh kejelasan. Aku harus melihat apakah Rara adalah Rayung atau
bukan. Aku akan menemuinya dan beralasan untuk meminta bantuan dokumentasi di festival.
Di sela-sela itu, aku harus mengetahui apa yang tidak kuketahui.
**
“Lo, Mas ini yang di rumah Angon, kan?”
Seorang bapak
mengambil alih motorku. Dia memasukkan kendaraan tersebut ke barisan yang telah
tersedia. Untuk menanggapi pertanyaannya, aku mengangguk sebentar dan merogoh
sakuku untuk menemukan uang dua ribu.
“Mau foto-foto ya,
Mas? Buat penelitian?”
“Ah, iya, Pak. Buat
dokumentasi nanti.”
“Pas sekali kalau
gitu. Sekarang ada pentas Jaka Kandung di panggung utama. Rara sepertinya juga
ke di sana.”
“Rara?” tanyaku
seperti orang bodoh.
“Iya, gadis yang memandu
Mas tadi siang. Saya lihat dia berdiri di depan panggung sambil makan gulali.
Anak itu tidak pernah berubah. Sudah dewasa, sudah banyak jajanan modern juga,
tapi tetap saja yang dicari gulali buatan Mbok Sukemi.”
Aku terhenyak. Segera kuserahkan uang dua ribu dan aku berlari menuju panggung utama. Cukup sulit melewati jalan yang dipenuhi
oleh manusia-manusia. Aku sempat menabrak bahu seorang bapak dan beliau
memelototiku. Aku meminta maaf sejenak dan terus berjalan cepat.
“Beraninya
dia menculik ibunda selama ini! Dia sudah membunuh ayahanda dan sekarang dia
ingin membuat ibundaku sebagai burung dalam sangkar. Sungguh kurang ajar!”
“Aku
tidak memberi tahumu karena kekuatanmu belum seberapa, Jaka. Tapi, saat ini
kurestui kamu untuk menolong ibundamu. Jangan gegabah dan tetap terapkan ilmu
dariku.”
Dialog Jaka Kandung
yang murka membumbung di udara. Di sisi lain, Mbah Sentono Gedhong mencoba
meredam selaku guru dari tokoh utama.
Di bawah panggung yang megah, terlihat seorang gadis dengan sorot mata berbinar. Kali ini dia memakai kebaya model kutu baru dengan kerudung biru yang dikepang. Sepertinya dia mendapat tuntutan itu dari stannya. Lepas itu, aku tidak peduli bagaimana penampilannya. Dia adalah Rayungku. Kekasih masa kecilku.
Di bawah panggung yang megah, terlihat seorang gadis dengan sorot mata berbinar. Kali ini dia memakai kebaya model kutu baru dengan kerudung biru yang dikepang. Sepertinya dia mendapat tuntutan itu dari stannya. Lepas itu, aku tidak peduli bagaimana penampilannya. Dia adalah Rayungku. Kekasih masa kecilku.
“Rayung!” aku
berbisik tepat di sisinya. Dia berjingkat dan menjauh beberapa langkah. Aku
tertawa. Setelah itu aku memandangnya lekat-lekat hingga dia menggumamkan
sesuatu yang begitu halus sampai aku tak mendengarnya.
“Aku Jaka. Reza Jaka
Susena. Ingat?” Gadis di hadapanku bungkam. Cukup lama hingga aku ragu apakah
dia akan mengingatku. Tak berapa lama, gadis itu memalingkan wajah. Kemudian
dia menunjuk sebuah arah.
“Jika Mas Reza
mencari Mbak Rayung, dia ada di sana.” Rara ganti menoleh padaku seraya
tersenyum. Sementara aku bergeming pada seorang perempuan yang sedang mengelus-elus
perut. Dia memakai gaun merah muda dengan kerudung bunga-bunga. Di
sampingnya, seorang lelaki sedang menautkan genggaman tangan. Aku masih ingat, lelaki
itu adalah salah satu petugas parkir di Wisata Alam Kandung siang tadi.
“Maaf, saya bukan
orang yang Mas cari. Saya Rara Dwi Lestari, sepupu Mbak Rayung.”
Aku menunduk dengan
perasaan bancuh. Aku sangat ingin tertawa karena kebodohan yang hakiki. Tapi
gadis di hadapanku begitu sumringah hingga aku sangat malu untuk menampakkan
diri.
“Meskipun begitu.
Senang bertemu denganmu, Mas Jaka. O iya Mas mau gulali?” tanyanya seraya
menyerahkan sebuah gulali rasa blueberry.
Masih dengan senyum, dia menunggu reaksiku.
Aku belum bisa meraih
pemberiannya. Aku sangat terkejut hingga tampak seperti orang yang tidak
memiliki otak. Di sini, aku menemukan kekasih masa kecilku telah bersama orang
lain. Juga, aku menemukan seorang gadis asing yang mungkin akan mengisi
hari-hariku. Jika dia ingin.
SELESAI
*Dilarang menyalin tanpa izin. Hargai kerja keras penulis melalui suka, komentar, dan saran. Terima kasih
Turut menyesal saya dengan Jaka. Bisa dipertemukan kembali tapi yang ditemui sudah punya yang lain. Mungkin sudah saatnya mas Jaka move on ke Rara saja hehehe
BalasHapusJujur saya ngga terlalu suka dengan cerita romantis yang ending nya bikin nyesek, bisa kepikiran sampe berhari-hari hiks :(
BalasHapusMelihat judul cerpen ini saya sangat suka dengan cerpen romantis, walapun saya nggak romantis.
BalasHapusMmmmm... cinta masa kecil cinta monyet tapi susah dilupakan. Jadi ingat masa lalu hikks
BalasHapusMmmmm... cinta masa kecil cinta monyet tapi susah dilupakan. Jadi ingat masa lalu hikks
BalasHapusCinta yang tak berkunjung ke Jenjang pelaminan, ketemunya dipelaminan tapi sebagai tamu, hehehe
BalasHapusIni short story ya kak?
BalasHapusApakah ada episode lanjutan kak? Keren banget kak kayak berasa baca novel deh kak.. 😊
>>iotomagz<<
Saya kira rara adalah rayung ternyata bukan. Plot twistnya bagus, saya benar-benar gak nyangka endingnya
BalasHapusTergelitik, tapi fyi.. akupun tipe overthinking yang paling nggak bisa liat tokoh gak happy ending :( abis baca masih aja kepikiran wkwk.Terus berkarya ya mbak, ceritanya bagus.
BalasHapusAku antara melow, dan gemes bacanyaa. Tp menghibur kok. Ditunggu cerpen selanjutnya ya
BalasHapusSaya sangat menikmati Novel singkat ini. Apakah ada judul yang lainnya lagi?
BalasHapusBuat di aplikasi novel gtu dong kak yang cerita nya panjang berepisode
BalasHapusPlot twist nya ga bisa ketebak, keren banget. Suka banget sama ending ceritanya 🥰
BalasHapusSeneng banget aku baca baca tulisan yang kaya gini, menarik banget..
BalasHapusDi tunggu tulisan selanjutnya ka
Mbak aku baru dengar yang namanya perasaan bancuh. Apa sih mbak bancuh itu?
BalasHapusPlotnya membagongkan banget😂, jadi enjoy aku bacanya. Rasanya singkat banget kak
BalasHapusSedih sih tapi realistis karena pada kenyataannya berapa dari 10 orang sih yang akhirnya bisa happy ending dengan cinta pertamanya? Palingan gak nyampe 50%
BalasHapusJaka, kamu masih bisa deket sama Rara deh kayaknya.. Ga berjodoh dengan rayung, mungkin bisa dengan Rara.... Hihi
BalasHapusplot twist yang menarik, alur cerita yang menarik, apakah penulis punya wattpad?
BalasHapusPlot twitstnya menarik.. aku tunggu cerita-cerita selanjutnya
BalasHapusCerpennya keren mbak. Informatif namun romantis. Jadi pengen mengangkat budaya daerah juga nih saya. ^_^
BalasHapus