Cerpen Slice of Life - Lavendel, Aku, dan Uang
Gelas gemerincing dalam tarian kaca. Sesekali berpapasan dengan piring dan mangkuk raksasa. Sendok tak turut. Benda itu sudah duduk manis bersama garpu di lubang temaram. Seorang wanita melenggang di jalan sempit. Dia menurunkan kopi hitam dan kue lapis. Selain itu, ada senyum madu yang ia urai untuk orang-orang di sekitarnya.
“Ndri, tidak pesan kopi?” tanya Tatang usai
membelai punggung tangan si gadis kopi.
“Nanti dulu, Tang. Mau ambil topi di truk.
Kelupaan.”
“Halah! Topi saja dipikirkan. Nanti-nanti juga bisa,”
gerutu Tatang.
“Ah, bukan begitu. Biar kuambil sekarang.”
Landri buru-buru menjauh dari MERONA. Sebuah warung
singgah yang dibangun persis di pinggir kota. Bukan apa-apa, diyakini warung
tersebut menyimpan puluhan mutiara. Siapa yang tak suka. Sopir truk banyak yang
mampir, bukan hanya makan dan menyesap kopi. Namun, melepas lelah dan ciuman
pula.
Jarak tempat makan dan parkir truk cukup menyiksa
sandal. Alas kaki milik Landri yang peyot sudah meronta minta diganti. Bukan
masalah bikin dia terpeleset dan celaka, tapi si pemilik lebih sayang istri.
Beli beras, minyak, gula, dan ayam. Itu-itu saja yang dipikirkan. Sandal? Tidak
masuk dalam daftar pembelian.
“Gimana? Topimu tidak dimaling orang, kan?”
“Mana mau, Tang. Seperti tidak ada yang lain saja.”
“Lha, terus kenapa kamu sampai nyusul topimu di truk
tadi?”
“Ingin saja. Kurang enak kalau tidak pakai topi.”
“Ckckck… topi murah saja disayang-sayang, Ndri…
Ndri...”
Landri tak membalas. Meskipun darah mulai naik ke
ubun-ubun, dia sudah kebal dengan omongan sahabatnya satu itu. Tatang sibuk
memutar-mutar gelas buram. Dilihat lebih dalam, kopi dan gula tidak tercampur
sempurna. Gula banyak yang mengendap di bawah, tapi lelaki itu tak menolak asal
Antin yang buat.
Antin, satu diantara banyak mutiara yang terkungkung
dalam MERONA. Wanita itu betah menemani Tatang selama lelaki itu menyisipkan
uang. Jika dompet sedang sekarat, wanita itu akan beringsut pada Bayu atau
Mamad, sopir truk kayu yang uangnya tak pernah tandas.
“Landri, apa kamu juga merasa setoran dari Haji
Muklis semakin sedikit?”
“Iya. Padahal bahan pangan mulai naik. Tapi
pendapatanku bulan ini malah turun, Tang. Ditambah istriku minta minyak
lavender lagi. Katanya di rumah sudah habis.”
“Buat apa istrimu minta minyak lavender terus?
Setiap aku mampir ke warungmu, cuma bau soto ayam dan sambal pecel saja yang
tercium.”
“Siapa juga yang mau menaruh wewangian di warung
sederhana, Tang. Ratih itu pintar, dia memakainya di dalam kamar. Jadi cukup
dia dan aku saja yang membauinya. Sesekali Laras juga masuk kamar. Anak semata
wayangku itu juga menyukainya.”
“Ck… tahu dari mana kalau cuma Ratih dan Laras yang
masuk kamar? Bisa saja Ratih mengundang orang lain saat kamu tidak di rumah.”
Landri menatap tajam. Bagai serigala yang digerogoti
insting membunuh. Dia siap menyalak Tatang. Tapi semua runtuh saat pikiran
jernihnya kembali. Terakhir berseteru dengan Tatang, dia mengalami masa yang
cukup sulit. Meskipun penampilan Landri dan Tatang semacam sebelas dua belas,
tapi Tatang adalah senior di bidangnya. Landri tidak ingin terjungkal untuk
kedua kalinya. Dia menghela napas dan mencari jawaban seadanya.
“Ratih itu bukan Endang, Tang. Jangan disamakan.”
Tatang tersenyum kecut. Istri lelaki itu memang
sudah terkenal jeleknya. Saat sang suami bekerja, dia malah menuntun lelaki
lain untuk tinggal bersama. Tidak ada yang patut dibanggakan. Anak Tatang pun
sedih ber-ibu-kan seorang Endang. Ditambah Tatang yang jarang di rumah, entah
bagaimana keadaan si anak.
“Ndri, dua hari lalu aku mampir ke toko untuk beli
titipan Haji Romlah. Si Dendi bilang harga minyak bunga naik. Jika begini, kamu
masih mau membelikan keinginan istrimu itu?”
“Mau tidak mau, Tang. Istriku dari dulu tidak minat
minta yang aneh-aneh. Ya satu itu, dia meminta minyak lavender setiap dua bulan.
Sudah bagus dia tidak minta alat racik baru padaku. Dia tetap pakai lilin
lamanya.”
“Harusnya istrimu itu banyak uang, Ndri. Dia jualan
makanan tiap hari. Aku saja makan di tempatmu kalau tidak kerja begini. Uang
hasil jualan itu dikemanakan?” tanya Tatang disusul suapan kue lapis ke mulut.
“Ditabung, Tang. Buat biaya sekolah Laras. Selama ini
anakku itu tidak minta apapun padaku. Dia selalu minta ibunya. Beli tas,
sepatu, buku, iuran kelas, semuanya.”
“Lalu, si ibu giliran minta padamu begitu? Ndri…
Ndri… Kamu itu terlalu baik. Kamu harus sadar pekerjaanmu itu apa. Jangan cuma
pikir rumah tanggamu. Sudah dua tahun tapi
tidak paham juga. Coba lihat
kanan-kiri.”
Landri tak patuh. Dia malah membenahi topinya yang
sedikit miring. Lagi-lagi Tatang tersenyum. Bukan merasa terhina, tapi merasa
perlu berusaha agar Landri ikut arusnya.
“Siang ini, dari sepuluh sopir truk yang singgah di
MERONA cuma kamu sama Pak Ketut yang malas nggoda wanita. Lainnya, pasti sudah cengengesan dan manja-manjaan. Nah, kamu
jangan terlalu sayang sama istri. Toh, dia tidak bersamamu tiap hari.”
Siapa bilang Landri terlalu sayang istri? Lelaki itu
sering hanyut dalam jebakan Rukma. Tapi tak sampai mengecup kening wanita itu,
Landri telah membuka topinya.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua wanita mendekat
dengan nampan berisi kopi dan makanan. Harum gulai kepala ikan dan nasi hangat
membumbung mesra. Landri berkali-kali menarik napas untuk menjerat aroma. Di
sisi lain, Tatang tak peduli. Lelaki itu menilik hal tersendiri. Antin, wanita
pujaan hati itu mulai mengibaskan rambutnya untuk tebar pesona.
“Ini makanannya, Bang Tatang.”
Tatang mengangguk cepat. Lelaki itu segera menarik
tangan Antin untuk mendekat padanya.
“Ini kopimu, Mas Landri.”
Landri mengangguk tanpa menatap si pelayan.
“Ndri, lihat, si Rukma makin cantik sekarang. Kamu
yakin tidak mau dengannya?”
Kali ini Landri benar-benar tertarik. Bukan masalah
goda-menggoda. Tapi lebih dari itu. Wanita itu mulai memiliki kemiripan yang
sangat dengan Ratih. Bukan rona wajah, apalagi tingkah.
“Kenapa akhir-akhir ini kamu bau lavender, Rukma?”
Si tertuduh tertawa manja. Semu merah jambu di
pipinya kian nyata. Setelah meletakkan pesanan dengan benar, wanita itu
bersandar mesra pada Landri. Landri diam, tidak menolak, tidak menerima. Rukma memainkan
sejumput kemeja kusut milik Landri. Sesekali wanita itu menerawang wajah sang
kekasih.
“Tatang bilang kamu suka bau bunga ungu. Jadi aku
membelinya agar bisa lebih dekat denganmu. Tidak perlu membayarku hari ini. Tapi
coba perhatikan aku. Setelah dirasa cocok, baru keluarkan uangmu untukku esok
hari.”
Landri gugup. Wanita di sisinya semakin menempel.
Tatang turut mendukung. Antin tertawa-tawa melihat Landri yang dilema. Setiap
minggu Landri mampir dan Rukma yang selalu menyuguh kopi. Sudah dua tahun dan
dia masih betah menggoda. Landri kadang juga berpikir alangkah baiknya jika dia
memiliki Rukma.
Rukma itu menawan. Cukup menakjubkan wanita itu
mengejar-ngejar Landri yang pas-pasan. Masih banyak sopir truk yang berdompet
tebal, tapi malah dia acuhkan. Jika pun Landri terpikat, uang sebesar apa yang
ia dapat? Paling besar pasti lima puluh ribu. Coba sopir lain, pasti dua ratus
ribu bisa dia kantongi dengan mudah.
“Ndri! Ngelamun saja kamu! Itu loh ditawari Rukma.
Gratis!” Tatang mencoba kompor dengan tawa yang makin girang.
“Bagaimana, Mas Landri? Aku sudah memakai wewangian
kesukaanmu. Kurang apa lagi?”
Landri acuh tak acuh. Rukma yang mengamati semakin
bersikeras memikat. Wanita itu tersenyum-senyum. Ditambah dia memijati pundak
lelaki itu perlahan. Mirip sekali dengan pijatan Ratih pada Landri sepulang kerja.
Lelaki itu benar-benar dalam bahaya sekarang.
“Hahhh!”teriak Landri tiba-tiba. Antin, Rukma, dan
Tatang berjingkat. Mereka terkejut dengan reaksi Lantri yang tak terduga.
“Kamu itu ngomong apa, Rukma! Menawariku? Buat apa!
Di rumah saja aku punya bau semacam ini. Lima tahun aku menciuminya. Apa di
sini aku harus menerimamu juga? Lagi pula bau di rumah masih lebih bagus
daripada kamu. Dasar!” gerutu Landri keras.
Rukma disingkirkan dengan kasar. Landri membawa
kopinya menjauh dari meja Tatang. Lelaki itu menarik sebatang rokok dari
sakunya. Dia main-mainkan lalu dibuang. Sudah kena tanah, tapi dipungut lagi.
Dimasukkan saku dan tangan berganti ke topi. Diraih selembar kertas warna kecokelatan.
Diciumnya dengan sayang.
“Ada untungnya aku menetesi kertas kelobot ini,
Ratih. Semoga harummu tetap mengiringi rezekiku. Hah, ada apa dengan si Rukma?
Aku sungguh kesal dibuatnya.”
Topi dibuka lagi. Kertas kecokelatan tadi kembali
bersarang di sela-sela penutup kepala. Dipandanginya topi tersayang. Warna biru
tua itu telah luntur, ditambah ada robek di bagian ubun-ubun.
Landri menghela napas. Dia menyesap kopinya
perlahan-lahan dan merasa lebih tenang. Tak berapa lama, dilihatnya sebuah truk
bermuatan pakan ikan mendekat. Turunlah seorang lelaki paruh baya yang masih
mencuatkan sifat beringas. Selayak permen tanpa bungkus, lelaki itu langsung
disambut beberapa penggemar.
Lelaki itu tertawa nyaring. Kecupan mesranya ditempel pada satu-satu wanita. Siapa sangka, lelaki paruh baya itu adalah kakak sulung Ratih. Sama saja dengan lainnya.
Saat melintas di depan Landri,
lelaki itu semakin merekahkan tawanya. Dia, bahagia.
SELESAI
Lanjutkan, cerpennya menarik
BalasHapusSemoga skill menulis ceritanya lebih baik lagi kedepannya aamiin
Aamiin. Terima kasih.
HapusKayaknya ceritanya masih gantung nih.. hehe
BalasHapusLanjutkan mba, ditunggu😊
Terima kasih apresiasinya kak. 😊
Hapusmantap cerpen nya, bisa untuk refensi membacaku agar aku lebih luas wawasanku
BalasHapusCeritanya keren min, kira-kira dah berapa cerpen yang sudah dibuat ?
BalasHapusBagus bagus cerpennya di sini. Udah sering ikut lomba" gitu kah min? Ini ada versi wattpadnya juga ga ya?
BalasHapusPernah beberapa kali kali ikut lomba kak. Untuk wattpad enggak begitu suka nulis di sana. Hehe
HapusKeren kk cerpen nya,buat sendiri. Oiya coba bahas buku Tere Liye kk. Keren2
BalasHapusDuh aneh-aneh ya, pakai beli wewangian lavender segala haha. Keren mbak cerpennya, semoga bisa terus mengembangkan karya-karyanya
BalasHapusAgak berkaca sama diri sendiri sebenarnya itu. Aku suka banget sama wewangian soalnya. 😅
HapusWah, diksinya beragam sekali ya. Lumayan buat bahan belajar untuk memperluas kosa kata bahasa indonesia. Judul dan ceritanya juga sangat menarik. Semangat terus untuk karya-karya lainnya!
BalasHapusTerima kasih kak. 😊
HapusKeren mba ceritanya, banyak hal-hal yang menurut saya diluar ekspektasi hehehe. Btw, saya suka dengan karakter Landri ini, soalnya relate banget sama kehidupan saya. Sukses terus mba, ditunggu karya selanjutnya
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya mas.
HapusBagus ka cerpenya. Kaya bahasa. Dah cocok lah ini diterbitin dibukun ka. Karakter yang dibangun Tatang dan Landri kuat ni. Bisa merasakan kebiasaan sopir Truk klo sedang mampir ke warung. Singgah sambil lirik lirik Rukma. Meski demikian Landri masih sayang Ratih istri dan anaknya. Beda dengan si Tatang.. hha
BalasHapusYa begitulah mas... Karya ini jadi cerminan realitas yang ada.
HapusMasyaAllah Kakkkk ... Aku suka sekali tulisannya.
BalasHapusKebayang sopir truk yang suka nongkrong di warung kopi. Ceritanya sangat dekat sekali dengan realita.
Saya sampai degdeg an takut Landri tergoda dengan Rukma. Menarik lega waktu dia berhasil lepas dari jeratan Rukma yang jadi wangi Lavendel. Di akhir cerita, cukup miris dengan kedatangan kakak Rukma yang seperti raja buat puluhan mutiara MERONA.
Saya tunggu cerita yang lainnya kak.
Keren nih, Semangat menulisnya siapa tau nanti menjadi penulis terkenal.
BalasHapusKeren cerpennya Kak...Aku baca sampai selesai, bikin penasaran endingnya. Kayak mb Renov, takut juga Landri tergoda juga...Huf...Selamat-selamat...
BalasHapusBagus parah kak. Keren. ikut deg degan aku liat si Landri wkwk.
BalasHapusAku kayak pernah tahu judul ini dimana yaa. eh ternyata ini judul buku antologiku kemarin haha pas bangett. Suka deehh sama cerita si Landri
BalasHapusCerita tentang dunia malam para supir truk sudah menjadi rahasia umum. Menarik, Mba. Tinggal poles sedikit lagi untuk PUEBI dan pemilihan kalimatnya. Semangattttt
BalasHapusmenarik banget cerita fiksinya, aku jadi rindu deh menulis fiksi di blogku, kebetulan udah terbit dua post tapi aku belum post lagi. Lanjutkan ya kak
BalasHapusbagus nih. suka sama gaya berceritanya. ngalir. dan endingnya. tawa. bahagia. mengandung makna yang dalam.good job. lanjutkan
BalasHapusLanjutt.. btw masih ada cerita sambungannya kak ? aku termasuk yang agak susah nulis fiksi di blog. Berasa gak percaya diri, hehehe
BalasHapusSaya suka cara kakak memainkan diksi dan kalimat2nya. Settingnya juga bisa tergambar di kepala saya. Kelihatan punya jam terbang bagus nih utk nulis fiksi, hehe
BalasHapusWah selamat ya kak cerpen lavendernya masuk ke buku slice of life, waktu itu aku gak lolos. Hihihi. Kayaknya kita samaan nih. Sama-sama pindah ke Non Fiksi.
BalasHapusMasih menunggu cerpen selanjutnya part 2 kalo ada hehe
BalasHapusCerpen yang bagus. Namun saran dikit, perlu dipikirkan ulang pembentukan majasnya. Seperti gelas gemerincing. Duaduanya kata benda. Dan gelas tidak bergemerincing, Kak. :d
BalasHapus