Cerpen Islami - Malam Takbir Bersama Ustad Syaiful (Cerpen)
‘Allaahu akbar…
Allaahu akbar… Allaahu akbar…’
‘Laailaahaillallaahu
wallaahu akbar… allaahu akbar walilaahilhamd…’
Jemari yang penuh dengan kerut itu merebah.
Urat-urat perlambang keperkasaan mulai menunjukkan jati diri yang sebenarnya.
Menua dan rapuh. Ibarat kayu jati, dia semakin kokoh dalam balutan umur. Namun,
rayap, semut, dan tikus adalah takdirnya. Sekali tumbang, pohon akan menyisakan
nama dan kenangan semata.
“Imam!”
Serak dan berat. Begitulah suara si pemanggil
mencoba berbaur dengan suara takbir di kejauhan. Di masa mudanya, hasil dari
pita suara tidak separau itu. Ada nuansa manis dan energi positif yang
bergelayut setiap waktu. Kembali ke persoalan awal, dia benar-benar sepuh
sekarang. Di sisi lain, aku menoleh tanpa menyahut.
“Salam untuk anak istrimu.”
Mendengar ucapnya membuatku tertawa. Apa-apaan. Anak
dan istri dia bilang? Sejak kapan aku memilikinya. Baru seminggu lalu aku tiba
dari Mesir dan langsung memijat punggungnya yang encok di bandara.
“Ustad sedang menggodaku sekarang?”
Dia menyeringai. Senyumnya merekah, dibarengi sisa
jagung yang terjepit di sela gigi. Aku turut tersenyum. Sedikit lebih lama, aku
melepaskan tawa. Kuseret tubuhku untuk lebih akrab pada piring berisi jagung manis
dan segelas kopi hitam khas daerah selatan. Kucomot satu jagung dan kusesap
kopi secara bergantian.
“Aku bukan menggodamu, Mam. Tapi mengingatkan.
Sepertinya doamu kurang khusyuk. Duduk bersila di masjid, menunduk, dan
memejamkan mata sesekali. Apa yang kamu minta? Aku rasa bukan jodoh dan
keturunan,” ujar Ustad Syaiful tenang. Nun jauh di sana, masih terdengar takbir
bersahutan. Sementara suasana asrama putra sunyi senyap. Para santri telah
pulang. Hanya sandal dan satu dua sarung yang bergelayut di sekat-sekat.
“Ustad tidak tahu isi doaku? Selama ini aku minta
agar Ustad Syaiful selalu sehat dalam lindungan Allah SWT.”
Jawabanku membuat Ustad Syaiful terkekeh. Sedetik
kemudian aku menutup mulutku karena ucapanku yang terkesan bualan. Namun, aku
benar-benar jujur. Dia masuk dalam doaku setiap harinya.
“Lalu?” tanya Ustad Syaiful.
“Kalau jodoh dan keturunan, saya percaya Allah sudah
menuliskan-Nya di Lauhul Mahfudz. Sudah menjadi ketetapan. Jika sekarang saya
masih sendiri. Berarti takdir memang belum mempertemukanku dengan pasangan.
Begitu kan, Ustad?”
“Begitu apanya!? Usaha, Mam. Usaha! Mana ada Allah
memberi nikmat jarak dekat pada umatnya yang ongkang-ongkang kaki saja. Atau
kamu masih belum bisa melupakan Khusna? Begitu?”
“Ustad Iful ini mulai ngelantur. Sudah! Saya mau
pulang ke Mojokerto sekarang.” ujarku seraya menjauh dari hidangan. Kini aku
berada di ujung bangku. Dengan Ustad Syaiful di sisi lainnya.
“Ini anak diajak bicara malah undur diri. Mam… Imam…
Nabawi saja sudah punya dua anak. Laki-laki dan perempuan. Komplit sudah.
Bahagia betul dia.”
Aku tersenyum kecut. Tidak ada yang berubah. Ustad
Syaiful tetap gampang meledek. Dia juga dengan mudah mencungkil hatiku dengan
ucapan selembut debu. Aku juga masih begini. Sudah lima belas tahun sejak aku
meninggalkan pesantren. Tapi tingkahku di hadapnya masih saja kekanak-kanakan. Sebenarnya,
ucapannya benar. Semuanya, termasuk tentang Khusna. Karena itulah, dia
satu-satunya orang tua yang sangat ideal untuk kujadikan Bapak. Hormatku utuh
padanya.
Diam-diam aku mencuri wajah lelaki tua itu dari sudut
mata. Dia masih bisa menebar canda, bahagia, dan rasa syukur. Lima tahun yang
lalu istrinya meninggal. Saat itu aku masih mengajar di Mesir. Tidak bisa
menunggui dan merangkulnya sebagai rasa bela sungkawa.
Nabawi bilang, Ustad Syaiful tidak menggambarkan
kesedihan di hadapan para pelayat. Namun, dia meneteskan puluhan air mata di
depan Nabawi dan Khusna. Isaknya putus-putus, menandakan kepiluan. Putri semata
wayang tidak tahu prosesi turunnya bulir mutiara dari tahta. Karena sang putri
harus segera kembali ke Surabaya untuk mendata kolom-kolom angka di layar
komputer.
Di saat-saat tertentu keluarga bukanlah penawar
yang utama. Orang asing pun bisa menjadi dekat karena perasaan kasih dan sayang
antarsesama.
Sejak itulah Ustad Syaiful tidak pernah meninggalkan
pondok. Dia tidak memiliki tempat lain. Hanya pondok dan para santri yang
membuatnya begitu hidup. Jika santri libur, dia akan tetap di pondok. Mengurus
semuanya dan menyambut santri ketika kembali.
“Hah… ya sudah, Mam. Pulanglah. Aku yakin orang
tuamu juga merindukanmu. Maaf lahir batin untuk mereka,” ucap Ustad Syaiful
memberi lonceng perpisahan bagi kami.
“Ustad tidak mau ikut?” ucapku tulus.
Ustad Syaiful bangkit dari duduknya. Dia mengamati
langit yang dipenuhi kembang api. Pikirannya menerawang jauh. Bisa kutebak, dia
merindukan istri tercinta dan anak semata wayangnya.
“Tidak, Mam. Aku tunggu pondok saja.”
“Apa yang mau ditunggu, Ustad? Takut ada pencuri
masuk? Kiranya ada yang bisa dicuri di sini?” cerocosku asal, disusul tawa
Ustad Syaiful.
“Jaga bicaramu, Mam. Pondok ini sudah tidak seperti
zamanmu. Banyak benda bernilai sekarang.”
“Hem… Baiklah. Kurasa memang begitu,” gumamku
perlahan.
“Tidak ada santri yang rebutan tiwul di zaman
sekarang, to? Sepertimu dan Nabawi
dahulu,” ledek Ustad Syaiful sambil terkekeh.
Aku tersenyum canggung. Di sisi lain, Ustad Syaiful
terus tertawa renyah. Insiden tiwul tempo dulu memang tak terlupakan. Berawal
dari kejadian itu aku bisa mendapatkan sahabat sejati, guru terbaik, dan impian
terindahku. Dengan semua itu, aku merasa beruntung.
****
Prrraannggg!!!
Glontaaaaaannngggg!!!
“Mam!” teriak Nabawi. Teman sekamarku itu segera
berdiri dan melempar tatapan tajam padaku.
Aku murka. Tatapan Nabawi padaku tidak seberapa. Amarahku
padanya telah kutahan selama tiga hari ini. Kupikir makananku hilang setiap
siang hari karena kesalahan pihak dapur. Ternyata, teman sekamarku sendiri yang
menjadi biang keroknya.
“Apa-apaan kamu!?” seru Nabawi. Untuk pertama
kalinya kulihat dia emosi. Santri dengan julukan ‘Wajah Es’ itu sedang
menghardikku.
Kutumpahkan makan siangnya. Jika aku tidak bisa
makan. Dia juga tak harus makan, pikirku. Sebelum aku menanyakan alasan si
biang kerok mengacaukan makan siangku, aku harus membalas dendam padanya.
Tahun pertamaku di pondok. Tiga bulan aku tidur
dengan kasur tipis dan bantal yang tidak kalah datarnya. Ditambah makan nasi
putih, jagung, dan tiwul secara bergiliran. Nasi putih masih menjadi favoritku.
Lainnya tidak begitu menarik untukku. Kecuali dengan lauk ikan.
Setiap pagi sampai siang aku harus mendengar ustad
berceramah tentang matematika, bahasa, alam, dan sosial. Malam harinya, aku
berkutat dengan kitab-kitab. Adapun waktu setor hafalan Al-Quran tiap Senin dan
Kamis. Pengalaman yang benar-benar baru untukku. Juga benar-benar merepotkan
bagiku. Semua itu menjadi sebab aku begitu sensitif, emosional, dan lelah.
“Kenapa kamu menyembunyikan makan siangku, Wi?” tanyaku dengan nada tinggi. Santri dari kamar sebelah mulai berdatangan. Mungkin ada yang
melapor pada pihak pondok, tapi aku tidak peduli.
“Kenapa kamu meminjam tiga kitabku dan tidak kamu
kembalikan sampai sekarang?” tanya Nabawi balik.
“Jadi semua ini karena buku itu?”
“Iya! Dimana kitab itu sekarang?”
Aku bungkam. Aku telah menghilangkan kitab milik
Nabawi. Aku tidak sengaja. Tapi di posisi ini aku terkesan salah.
“Tidak ada?”
Aku tetap diam. Tidak menjawab. Jika aku berkata
iya, berarti aku telah kalah.
“Hah! Baiklah, mungkin aku salah. Tapi, selama tiga
hari berturut-turut aku tidak makan siang. Apa kamu tidak merasa berdosa?”
“Masa bodoh,” ucap Nabawi sembari mengalihkan
pandangan.
“Apa!”
Aku menarik kerah baju temanku. Tidak mau kalah, dia
pun menggenggam lenganku erat. Tanpa pikir panjang, aku menonjok pipinya. Dia
juga bangkit dan menendang kakiku. Santri lain mulai menyoraki kami. Satu kubu
membelaku. Kubu lain mendukung Nabawi.
“Hei! Apa yang kalian lakukan? Bubar semuanya!”
Suara tegas dan lantang terdengar. Beberapa santri
mulai menjauh dari tempatku berkelahi.
“Ayo, pergi! Yang tetap melihat akan Ustad hukum
nanti!”
Para santri bergegas meninggalkanku dan Nabawi. Kami
berdua memisahkan diri. Ustad Syaiful datang dengan sajadah yang tersampir di
bahu. Ustad Syaiful adalah pengurus utama santri putra. Terkenal tegas dan
tanpa ampun.
“Siapa yang membuang makanan di lantai?” tanya Ustad
Syaiful. Berat dan penuh tekanan.
“Imam, Pak.”
“Tapi semua itu salah Nabawi, Pak.”
Ustad Syaiful menghela napas panjang.
“Segera bersihkan dan menghadap saya di kantor! Saya
tunggu lima belas menit dari sekarang!”
Ustad Syaiful pergi. Aku dengan terpaksa mengambil
sapu. Nabawi pun spontan mengambil keranjang sampah. Kami membersihkan tumpahan
makanan cepat-cepat.
“Ustad Syaiful paling benci dengan orang yang
menyia-nyiakan makanan,” ujar Nabawi.
“Andai kamu membagi makanan dengan rata, tidak akan
terjadi hal semacam ini.”
“Seandainya kamu tidak pinjam kitabku, aku tidak
akan berbuat seperti ini.”
Saat itu aku dan Nabawi saling menyalahkan. Sampai
kami menghadap Ustad Syaiful dengan perasaan gugup dan tubuh gemetar.
“Kalian
sudah makan?”
Aku dan Nabawi terkejut. Lalu, kami menggeleng
bersamaan.
“Ini, makan untuk berdua. Tidak boleh dipisah. Makan
dan berbaikanlah. Saya sudah tahu masalah kalian. Imam, segera ganti kitab
milik Nabawi. Nabawi, jangan balas dendam dalam hal apapun. Itu tidak baik.
Semua masalah bisa dimusyawarahkan.”
“Baik, Ustad.”
Setelah saling meminta maaf dan memberi salam pada
Ustad Syaiful, aku dan Nabawi ke luar dari kantor yayasan. Makanan pemberian
Ustad Syaiful kubawa dengan senang hati. Tiwul, ikan pindang kuah pedas, rebusan
bayam dan krupuk. Menu siang ini benar-benar menggugah selera.
“Wi, ayo makan,” ajakku setelah sampai di teras
kamar.
“Kamu makan sendiri saja.”
“Kenapa? Masih dendam? Sebenarnya aku juga masih
emosi, tapi Ustad sudah berbaik hati memberi ini. Kita harus memakannya.”
Nabawi terlihat ragu. Dia melihat sekeliling.
Beberapa saat lalu dia berkelahi habis-habisan denganku. Sekarang kami akan
makan siang bersama, dalam satu piring.
“Lama sekali berpikir! Sini!”
Aku langsung menarik tangan Nabawi dan menyuruhnya
makan. Dia mulai mengangkat sendok dan menyuapkan tiwul ke mulutnya. Sementara
aku asyik mencuil ikan pindang dengan jariku.
“Ciye, Duo Tiwul. Sudah akur ya.”
Tawa santri yang berlalu-lalang membuat Nabawi
menunduk dalam. Dia memang anak yang pendiam. Berbeda denganku, aku tidak
peduli dengan omongan orang.
“Mam.”
“Apa?”
“Semalam aku dengar Ustad Syaiful menegurmu.”
“Oh, tentang setor hafalan?”
“Iya.”
“Em… aku sulit menghafal ayat-ayat dengan cepat.
Jadi di antara santri yang lain, aku tertinggal jauh,” ujarku tersenyum tanpa
rasa malu.
“Butuh bantuan?” tanya Nabawi seraya mengulur sayur
bayam dan membaurkannya bersama nasi.
“Kamu mau membantuku?” tanyaku tidak percaya.
Sesaat aku melongo. Nabawi tidak terusik dan terus
menyuapi mulutnya.
“Kalau kamu tidak mau kubantu tidak ap…”
“Aku mau!” jawabku cepat..
Nabawi adalah santri terpandai di angkatanku. Selama
ini aku penasaran otaknya terbuat dari apa. Dia begitu mudah menyerap ilmu dan
bersenang-senang dengan hobinya. Di sela-sela kesibukan pondok, dia masih bisa
merenung, menggambar sesuatu, dan mengumpulkannya dalam buku khusus yang ia
taruh di laci meja. Di hari pertama, dia pernah bercerita ingin menjadi pelukis.
Tapi orang tuanya ingin dia menjadi insinyur.
Sementara itu, aku bertekad untuk mendapatkan
beasiswa di luar negeri. Apapun bidangnya, aku ingin ke luar negeri. Mewujudkan
impian orang tua dan kembali dengan hal-hal yang dapat mereka banggakan adalah
tujuan utamaku.
Sejak insiden tiwul itu, aku dan Nabawi menjadi
teman. Kami dikenal sebagai ‘Duo Tiwul’. Di awal pertemanan kami, aku begitu
kesal karena sikap Nabawi yang disiplin. Jam tidur siangku selalu hangus
digantikan hafalan ayat dan mengulang pelajaran umum yang tidak kupahami.
Hingga ujian kenaikan kelas, aku bisa menduduki peringkat ketiga dengan hafalan
ayat yang di atas rata-rata. Di saat itulah aku percaya bahwa usaha dan doa
tidak pernah mengkhianati hasil. Nabawi pun begitu.
****
“Astagfirullah haladzim.
Astagfirullah haladzim…”
Kaki berjalan begitu berat. Meninggalkan sosok ayah
di suatu tempat. Dia kesepian. Meskipun dia merasa begitu rela pada alam
semesta. Aku tidak tega.
Anganku melayang perlahan. Kisah-kisah lampau
menyusuri relung pikiran. Sekelebat wajah Gunawan muncul. Teman sekamarku yang
meninggal tiga tahun lalu saat tidur siang. Tidak aneh, karena seperti itulah
takdir.
Semasa kami bersama, aku sering meminta pasta gigi
pada Gunawan. Timbal baliknya, dia minta bantuanku untuk melambungkan surat
cinta. Melewati tembok dan bait-bait kerinduan akan berakhir di muara.
Lamunanku buyar. Hampir mencapai gerbang pondok, sebuah
mobil Toyota masuk dan berhenti di sampingku. Warna hitam darinya begitu khas.
Plat nomor yang tertera menandakan dia berasal dari kota jauh. Bukan
dekat-dekat sini.
“Siapa?” gumamku perlahan.
“Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Senyumku mekar. Suara sapa itu begitu akrab. Seseorang
turun dari mobil sembari menggendong anak perempuan. Disusul seorang bocah laki-laki
menghambur padaku. Aku merapat. Seseorang itu pun membenahi gendongannya dan
melempar senyuman padaku.
“Mana Nabawi?” tanyaku.
“Masih di dalam. Sepertinya dia kehilangan sesuatu
yang ingin diberikan padamu dan Ustad Syaiful.”
Aku manggut-manggut. Seorang wanita di hadapanku
saat ini adalah Khusna. Dia seseorang yang pernah mengisi bait-bait puisi cinta
di masa SMA. Lalu, sekarang dia menjadi istri Nabawi. Wanita bertutur kata
lembut dan penuh perhatian itu tidak salah memilih suami. Kini ia dikaruniai dua
anak. Mereka adalah Khoirul Anas dan Lailia Madina.
“Paman sudah bertemu Kakek Iful?” tanya Anas, masih
gelendotan di antara dua kakiku. Untuk anak usia enam tahun, dia begitu manis. Ia
mewarisi lengkung senyum dari ibunya. Sementara sepasang mata itu diturunkan
dari sang ayah. Kelak dewasa ia akan bersikap lebih lembut dibanding Nabawi dan
lebih tabah daripada Khusna.
“Asalamualaikum, Pak Dosen!”
Akhirnya Nabawi turun, dia menenteng sebuah tas yang
masih misterius isinya. Aku membalas salamnya dan berjabat tangan erat.
Kulupakan pertanyaan Anas dan beralih pada Nabawi.
“Kamu sudah bertemu Ustad?”
“Sudah. Nggomong-ngomong, itu tas apa, Profesor?” tanyaku
penasaran.
“Oh, ini. Aku beli nasi tiwul di jalan. Khusna juga
membawa beberapa makanan dari rumah. Ayo, kamu ikut masuk. Sekalian bantu bujuk
Ustad untuk pulang denganku ke Sidoarjo.”
“Dia susah dibujuk, Wi. Kamu tahu sendiri, kan? Aku
sempat dipukul dengan sajadah karena terus bersikeras kemarin. Di hadapan para
santri dia mengomeliku seperti anak kecil. Kadang dia sangat keterlaluan.”
“Ayolah, Mam. Kita bujuk dia sekali lagi. Jika
hasilnya tetap sama, setidaknya kita sudah menemaninya lebih lama.”
“Hah, bijaksanamu itu memang tidak ada tandingan,
Wi. Baiklah. Ayo!”
Kami bergegas ke mobil. Khusna berpindah duduk di
bagian tengah bersama Anas dan Laili. Sementara aku duduk di sisi Nabawi.
Sudah puluhan tahun. Tapi aku merasa baru sore
kemarin. Pertemuanku dengan Nabawi dan Ustad Syaiful. Perjuanganku meraih
impian yang awalnya begitu mustahil. Bahkan, keikhlasanku untuk Khusna adalah
sebuah takdir. Semuanya begitu tepat, mulus dan tertata. Penggal-penggal
perjalanan yang kulalui. Keping-keping yang terpungut dari negeri jauh. Semua
berawal dari sini. Kuharap, semua juga sungguh berarti di sini.
SELESAI
Dilarang menyalin tanpa menyertakan sumber. Silakan share ke teman-teman pecinta karya fiksi terutama cerpen. Terima kasih. ^_^
Posting Komentar untuk "Cerpen Islami - Malam Takbir Bersama Ustad Syaiful (Cerpen)"